Selasa, 16 Oktober 2012

Lelaki lawan Iblis


Lelaki lawan Iblis
tulis ulang: Abu Ahmad
Sepasang suami-istri mengawali rumah-tangga dengan tentram bahagia. Meski melarat, kepada Tuhan mereka taat. Segala yang terlarang mereka hindari. Rupa-rupa ibadah mereka tekuni. Sang suami adalah seorang alim dan taqwa.
Masa berkisar, hati dapat berputar. Sang istri mulai mengeluh soal uang belanja. Ia mendesak sang suami agar segera mencari jalan keluar. Terbayang nikmatnya hidup, jika segala serba cukup.
Pada suatu hari, lelaki yang alim itu berangkat ke kota besar, hendak mencari pekerjaan. Di tengah perjalanan ia melihat sebatang pohon besar yang tengah dikerumuni orang. Ia mendekat. Ternyata orang-orang itu sedang memuja-muja pohon yang konon keramat dan sakti . Sebagian  kaum wanita meminta jodoh dan suami mereka dapat setia. Para pedagang  meminta-minta agar dagangan mereka laris.
"Ini syirik," fikir lelaki yang alim tadi. "Ini harus dibasmi habis. Masyarakat tidak boleh dibiarkan menyembah serta meminta kepada selain Allah." Maka segera ia kembali pulang . Isterinya heran, mengapa secepat itu suaminya kembali. Lebih heran lagi ketika dilihatnya sang suami mengambil sebilah kapak tajam. Lantas lelaki alim tadi bergegas keluar. Isterinya bertanya tetapi ia tidak menjawab. Segera ia bergegas menuju  ke pohon itu. Sebelum sampai di tempat pohon itu berdiri, tiba-tiba melompat sesosok tubuh tinggi besar dan hitam. Dia adalah iblis yang menyerupakan diri seperti manusia.
"Hai, hendak ke mana kamu?" tanya si iblis.
Orang alim tersebut menjawab, "Saya hendak pergi ke pohon yang disembah-sembah orang bagaikan menyembah Allah. Saya sudah berjanji kepada Allah akan menebang roboh pohon sumber kemusyrikan itu."
"Kamu tidak ada hubungan apa-apa dengan pohon itu. Yang penting kamu tidak ikut-ikutan syirik seperti mereka. Sudah, kembali saja."
"Tidak bisa, kemungkaran mesti dibasmi," jawab si alim bersikap tegas.
"Berhenti, jangan teruskan!" bentak iblis marah.
"Akan saya teruskan!"
Karena masing-masing teguh pada pendirian, akhirnya terjadilah perkelahian antara orang alim tadi dengan iblis. Jika hanya melihat perbedaan badannya, seharusnya orang alim itu dengan mudah dapat dikalahkan. Namun ternyata iblislah yang  menyerah kalah, meminta-minta ampun. Kemudian dengan berdiri menahan kesakitan dia berkata, "Tuan, maafkanlah kekasaran saya. Saya tak akan berani lagi mengganggu tuan. Sekarang pulanglah. Saya berjanji, setiap pagi, apabila Tuan selesai menunaikan sholat Subuh, di bawah sajadah Tuan saya sediakan uang emas empat dinar. Pulang saja sekarang, jangan teruskan niat Tuan itu dulu,"

Mendengar janji iblis dengan uang emas empat dinar itu, lunturlah kekerasan tekad si alim tadi. Ia teringat akan isterinya yang ingin hidup berkecukupan. Ia teringat akan rengekan istrinya setiap hari. Setiap pagi empat dinar, dalam sebulan saja dia sudah berhasil menjadi orang kaya. Mengingat akan desakan-desakan isterinya itu maka pulanglah dia. Patahlah  niat awal hendak membasmi kemungkaran.
Demikianlah, sepanjang hari itu isterinya tidak pernah marah lagi. Hari pertama, ketika si alim selesai sholat, dibukanya sajadah sholatnya. Benar saja, di sana tergolek empat benda berkilat, empat dinar uang emas. Dia meloncat riang, isterinya gembira. Begitu juga hari yang kedua. Empat dinar emas. Ketika pada hari yang ketiga, matahari mulai terbit dan dia membuka sajadah sholat, masih didapatinya uang itu. Tapi pada hari keempat dia mulai kecewa. Di bawah  sajadahnya tidak ada apa-apa lagi kecuali tikar pandan yang rapuh. Isterinya mulai marah karena uang yang kemarin sudah habis sama sekali.
Si alim dengan lesu menjawab, "Jangan khawatir, esok barangkali kita bakal dapat delapan dinar sekaligus."
Keesokkan harinya, harap-harap cemas suami-isteri itu bangun pagi-pagi. Selesai sholat dibuka  sejadahnya, …..  kosong.
"Kurang ajar. Penipu," teriak si isteri. "Ambil kapak, tebanglah pohon itu."
"Ya, memang dia telah menipuku. Akan aku habiskan pohon itu semuanya hingga ke ranting dan daun-daunnya," sahut si alim itu.
Maka segera ia keluar rumah. Sambil membawa kapak yang tajam dia memacu dirinya menuju ke arah pohon- syirik itu. Di tengah jalan, iblis yang berbadan tinggi besar tersebut sudah menghalang. Katanya menyorot tajam, "Mau ke mana kamu?" hardiknya menggelegar.
"Mau menebang pohon," jawab si alim dengan gagah berani.
"Berhenti, jangan lanjutkan."
"Bagaimanapun juga tidak bisa, sebelum pohon itu tumbang."
Maka terjadilah kembali perkelahian yang hebat. Tetapi kali ini bukan iblis yang kalah, tapi si alim yang terkulai. Dalam kesakitan, si alim tadi bertanya heran, "Dengan kekuatan apa engkau dapat mengalahkan saya, padahal dulu engkau tidak berdaya sama sekali?"
Iblis itu dengan angkuh menjawab, "Tentu saja kamu dahulu dapat menang, karena waktu itu engkau keluar rumah untuk Allah, demi Allah. Andaikata kukumpulkan seluruh bala-tentaraku menyerangmu sekalipun, aku takkan mampu mengalahkanmu. Sekarang kamu keluar dari rumah hanya karena tidak ada uang di bawah sajadahmu. Maka biarpun kau keluarkan seluruh kemampuanmu, tidak mungkin kamu sukses menjatuhkan aku. Pulang saja. Kalau tidak, kupatahkan nanti batang lehermu."

Mendengar penjelasan iblis ini si alim tadi termangu-mangu. Ia merasa bersalah, dan niatnya memang sudah tidak ikhlas karena Allah lagi. Dengan terhuyung-huyung ia pulang ke rumahnya. Dibatalkan niat semula untuk menebang pohon itu. Ia sadar bahwa perjuangannya yang sekarang adalah tanpa keikhlasan karena Allah, dan ia sadar perjuangan yang semacam itu tidak akan menghasilkan apa-apa selain dari kesia-siaan yang berkelanjutan . Sebab tujuannya adalah karena harta benda, mengatasi keutamaan Allah dan agama. Bukankah berarti ia menyalahgunakan agama untuk kepentingan hawa nafsu semata-mata ?
"Barangsiapa di antaramu melihat sesuatu kemungkaran, hendaklah (berusaha) memperbaikinya dengan tangannya (kekuasaan), bila tidak mungkin hendaklah berusaha memperbaikinya dengan lidahnya (nasihat), bila tidak mungkin pula, hendaklah mengingkari dengan hatinya (tinggalkan). Itulah selemah-lemah iman."
Hadits Riwayat Muslim